Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Keluarga’ Category

lagi-belajar.jpgOleh : Luqman Hakim Syuhada

Masyarakat modern menikmati kemajuan materi yang memanjakan hidup mereka, terutama di Barat. Segala sesuatunya menjadi lebih mudah tapi mekanis, sementara sentuhan manusiawi berkurang. Hubungan antar individu menjadi kering, dan hasilnya tingkat kesabaran masyarakat pada umumnya turun.

Disharmoni ini melahirkan berbagai gesekan dan benturan, baik antar kelompok masyarakat maupun antar individu. Kekerasan menjadi jalan keluar yang umum. Termasuk kekerasan dalam rumah tangga antar anggota keluarga, baik antara suami dengan istri maupun orang tua dengan anak.

Problematika ini melahirkan keprihatinan kolektif. Lalu muncul inisiatif untuk memunculkan kesadaran sosial yang bertujuan meredam kekerasan dalam rumah tangga. Isu ini bergulir membesar, hingga akhirnya lahirlah undang-undang yang mengatur bagaimana menangani dan mangantisipasi kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, termasuk di dalamnya undang-undang perlindungan anak.


Islam Agama Sosial

Islam pada hakekatnya diturunkan untuk mengentaskan problematika sosial. Hanya saja, dasar pijak yang digunakan Islam adalah ubudiyatullah bit tauhid (penghambaan kepada Allah secara murni). Saat kita diwajibkan menghindari riba, dasar pijak pertama adalah karena melaksanakan aturan Allah. Tujuan sampingannya adalah hilangnya lintah darat yang menghisap ekonomi masyarakat tanpa belas kasihan.

Dasar pijak ini demikian menonjol, sehingga kadang menghalangi penglihatan orang terhadap dimensi sosial yang menjadi satu bundel. Berbeda dengan kalangan Kiri yang jargonnya membela kaum miskin tapi dengan membawa dendam kepada kaum kaya. Mereka tak mengenal konsep ibadah, sehingga pembelaan terhadap kaum miskin semata diletakkan dalam bingkai sosial, sama sekali tak berbau spiritual.

Bukti bahwa Islam diturunkan untuk solusi problematika sosial dapat disimpulkan dari “kerisauan” malaikat yang mendorong mereka bertanya kepada Allah tentang penciptaan Adam. Al-Qur’an merekamnya sebagai berikut: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah: 30)

Kerisauan ini bila kita simpulkan adalah kerisauan mereka akan terjadinya berbagai problematika sosial saat manusia kelak sudah beranak-pinak, mulai dari kerusakan moral hingga pertumpahan darah. Salah satunya, kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap anak-anak. Jelas ini masalah sosial yang diprediksi dengan akurat oleh para malaikat, dan kini prediksi itu terbukti.

Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa salah satu tujuan diturunkannya syariat Islam, sebagai solusi problem sosial untuk menjawab kerisauan malaikat tersebut. Tujuan penghambaan kepada Allah jelas menjadi patokan arah yang utama, tapi tujuan solusi problema sosial manusia menjadi buah yang diinginkan darinya.


Aturan Islam tentang Rumah Tangga

Islam menetapkan aturan komplit soal bagaimana membangun dan memelihara rumah tangga. Demikian komplitnya, hingga tak ada celah sedikitpun untuk menambahkan sesuatu agar lebih sempurna atau mengurangi yang tak perlu agar lebih baik. Tentu saja kekomplitan ini tidak berdiri sendiri, tapi berkaitan dengan pranata sosial yang lebih luas.

1- Persoalan rumah tangga dalam Islam dimulai dari pra nikah. Apa yang perlu dipersiapkan bagi calon suami maupun calon istri, baik secara mental, spiritual dan wawasan ilmiah. Lalu bagaimana mekanisme memilih calon pasangan, tata cara melihatnya, meminangnya.

2- Tahap berikutnya, aturan saat hari H pernikahan, apa syarat dan rukunnya. Apa saja yang membuat pernikahan sah secara syariat dan apa pula yang menggugurkannya. Hak dan kewajiban suami, dan sebaliknya hak dan kewajiban istri diatur. Semuanya diatur secara rinci, tak ada celah sedikitpun.

3- Tahap berikutnya, bagaimana melewati malam pertama, do’a saat pertama bersentuhan dengan istri, do’a saat hendak melakukan hubungan badan, tentang larangan-larangannya, adabnya dan sebagainya.

4- Lalu setelah kehamilan hingga melahirkan, apa yang harus dilakukan. Bagaimana membentengi anak dari gangguan syetan, mendidiknya saat masih dalam kandungan hingga ba’da kelahirannya. Bagaimana tata cara mensyukuri nikmat dikaruniai anak; salah satunya dengan menyelenggarakan aqiqah.

5- Lalu setelah tumbuh menjadi anak-anak, remaja, lalu dewasa. Bagaimana hubungan yang ideal antara orang tua dengan anak, apa hak dan kewajiban masing-masing.

6- Kewajiban orang tua diakhiri saat menghantarkan anaknya sampai gerbang pernikahan. Lalu lahirlah keluarga baru. Demikianlah siklus ini berjalan di tengah umat Islam, dari zaman Nabi hingga zaman kita saat ini.


Islam menutup Peluang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Aturan yang demikian komplit, selain sebagai acuan konstitusi juga sebagai tahap-tahap pendidikan agar setiap keluarga dipastikan dibangun dengan pondasi dan cara yang benar. Jika semua tahap tadi dilalui setiap keluarga, peluang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sangat kecil.

Jika masih juga terjadi, Islam melengkapinya dengan pranata sosial untuk mencegahnya. Berikut ini beberapa pranata sosial yang berfungsi mencegahnya:

1- Islam melegalkan perceraian, meski dengan ungkapan “sesuatu yang legal tapi paling dibenci Allah”.

2- Islam memberi peran sentral kepada kepala keluarga, yaitu suami (bagi istri) atau ayah (bagi anak). Ia diposisikan sebagai pemimpin bagi semua anggota keluarga, seperti halnya presiden menjadi pemimpin bagi semua rakyat. Firman Allah, yang artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diriketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka) (QS An-Nisa:34).Oleh karenanya, ia yang pertama-tama diberi hak menceraikan hubungan suami istri, kecuali masalah ada pada dirinya maka istri diberi hak oleh syariat untuk mengambil inisiatif cerai, yang disebut dengan khulu’.

3- Sebagai pemimpin, Islam memberi hak kepada suami untuk meluruskan potensi penyimpangan pada istri. Allah berfirman, yang artinya: Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisa: 34)

Nusyuz adalah meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya atau melakukan sesuatu yang mengkhianati ikatan perkawinan.

5- Ayat ini jika dipahami dengan cara mencopotnya dari bingkai syariat secara keseluruhan, memberi kesan Islam melegalkan kekerasan dalam rumah tangga, karena Islam memberi hak suami untuk memukul Istri. Tapi yang benar, ayat ini memberi pilihan secara urut. Jika istri diberi nasehat (ditegur) tidak mempan, digunakan urutan berikutnya; pisah ranjang. Jika pisah ranjang juga tidak mempan, barulah urutan ketiga; diijinkan untuk memukulnya, itupun dengan syarat tak boleh menyakiti atau melukainya. Adalah naif, di satu sisi Islam menempatkan suami sebagai pemimpin, tapi tidak dibekali kewenangan apapun untuk mengendalikan bawahannya. Maka ayat ini harus dipahami sebagai satu kesatuan syariat, bukan dicerabut sendirian dari akarnya.

Dalam hal mengajarkan shalat, Islam juga mengijinkan ayah untuk memukul anaknya jika sampai umur sepuluh tahun belum mau melaksanakan shalat. Ini juga tak bisa dipahami bahwa Islam melegalkan kekerasan kepada anak, tapi semata konsekwensi logis ayah sebagai pemimpin. Jika ini ditolak, sama artinya menolak presiden untuk memiliki tentara dan polisi sebagai alat menertibkan rakyatnya. Polisi diijinkan memukul atau menembak penjahat tak bisa dipahami bahwa negara melegalkan kekerasan.

5- Islam menekankan sikap baik kepada wanita, sebagaimana sabda Nabi Shollaallahu Alaihi wa Sallam berikut:

استوصوا بالنساء خيراً فإنهن خلقن من ضلع وإن أعوج شيئِ فى الضلع أعلاه فإن ذهبت تفيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا بالنساء خيراً

Bersikap baiklah kepada wanita, karena ia diciptakan dari tulang rusuk yang paling atas oleh karenanya paling melengkung. Jika engkau meluruskannya, ia patah. Jika engkau biarkan, ia tetap melengkung. Maka bersikap baiklah kepada wanita. (HR Bukhari, Muslim dan Baihaqi)


Islam bukan Kambing Hitam

Ada hal yang aneh pada sebagian aktifis anti kekerasan dalam rumah tanga dan kekerasan terhadap anak. Saat terjadi kasus kekerasan dan pelakunya muslim, Islam dijadikan kambing hitam. Dan biasanya yang disalahkan adalah laki-laki, seolah mereka menyimpan dendam kesumat kepada lelaki. Padahal persoalan ini harus dipahami dengan jernih, tidak ada yang selalu dalam posisi salah dan tidak ada yang selalu dalam posisi benar. Harus dilihat kasus per kasus.

Terjadinya kemerosotan moral, yang salah satunya kekerasan dalam rumah tangga, merupakan buah dari jauhnya umat Islam dari agamanya, bukan karena terlalu fanatik pada agamanya.

Maka jika Islam disalahkan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap anak, jelas salah alamat. Yang terjadi justru sebaliknya, Islam kerap dipanggil untuk menyelesaikan masalah yang penyebabnya justru pihak lain.

Islam datang saat orang Jahiliyah biasa mengubur anak perempuannya untuk menutup malu, lalu diberantas tradisi itu. Islam datang saat wanita dipinggirkan dan direndahkan serendah-rendahnya, lalu diangkat sesuai kodrat yang semestinya. Saat itu Islam dipandang sebagai pahlawan yang menyelematkan wanita.

Kini, wanita berada dalam kebebasan tanpa batas, melebihi garis kodratnya. Islam datang untuk menurunkan pada level yang semestinya. Para aktifis perempuan marah karena kebebasannya dibatasi, maka mereka dendam kepada Islam.

Kunci bagi wanita agar bisa merasakan indahnya Islam; menyadari bahwa Islam menjaga wanita dengan cara menempatkannya pada kodrat yang semestinya. Bila gagal menyadarinya, Islam akan dirasakan sebagai penghambat. Hasilnya, beragama Islam tapi tersiksa dengan agamanya sendiri. Na’udzu billah min dzalik.

Read Full Post »